-
Larangan Jadi Pembela, Saksi Atas Kebohongan atau Kepalsuan
-
New Masyarakat.net
-
Aswar Hasan (aras)
(Renungan Kasus Ijazah Palsu)
Aswar Hasan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang bersalah atau yang dituntut) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (QS. An Nisa :135).
Ayat ini menjadi dasar penting dalam ajaran Islam tentang keadilan yang tidak memihak, bahkan ketika itu menyangkut kepentingan pribadi atau keluarga. Ia menegaskan bahwa kebenaran harus ditegakkan tanpa terpengaruh oleh status sosial atau emosional terhadap pihak yang terkait.
Tafsir dari para ulama menyatakan bahwa ayat ini memuat perintah utama untuk berlaku adil dan larangan keras terhadap kebohongan serta ketidakjujuran, terutama dalam kesaksian dan pembelaan hukum.
Dengan demikian, seorang pembela (pengacara) atau yang bakal memberi kesaksian harus yakin dan percaya secara hati nurani dan akal sehat, bahwa yang di belanya itu di pihak yang benar, bukan pembohong atau membungkus kepalsuannya dengan sesuatu yang melenakan atau menggiurkan karena menjanjikan sesuatu.
PERINTAH MENEGAKKAN KEADILAN (QAWWA MINA BIL-QISTI)
-
Baca Juga :
-
Menurut tafsir Ibn Katsir, ayat ini mengajarkan bahwa seorang mukmin harus selalu berdiri tegak dalam keadilan, bukan hanya adil saat menguntungkan dirinya, tetapi adil bahkan ketika merugikan diri sendiri atau keluarga.
"Keadilan bukan soal netral, tapi berpihak pada kebenaran meskipun itu menyakitkan," (Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab).
Firman itu, melarang menjadi pembela kepalsuan “...walau terhadap diri kalian sendiri, orang tua, dan kerabat...” menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk menyembunyikan kebenaran demi membela siapa pun. Termasuk larangan menjadi saksi palsu atau menyokong ketidakadilan.
Menurut Tafsir Al-Maraghi: “Allah menuntut kejujuran total. Bahkan jika kesaksian kita akan menjatuhkan diri sendiri atau orang tercinta, kita tetap wajib bersaksi dengan benar.”
Kaya atau miskin, kita harus tetap adil. Ayat ini menolak standar ganda dalam hukum. Tidak boleh memihak pada yang kaya (siapa pun) karena pengaruh, atau pada yang miskin karena kasihan. Keadilan adalah milik Allah.
Olehnya itu, jangan memutarbalikkan fakta atau menghindar dari kebenaran itu. “Jika kamu memutarbalikkan kata/fakta atau enggan (menjadi saksi), maka Allah Maha Mengetahui” adalah peringatan keras terhadap manipulasi hukum dan menghindari tanggung jawab moral. Artinya, kita dilarang memberi dan menjadi saksi palsu termasuk membela orang yang salah demi uang, loyalitas, jabatan, atau bahkan ideologi.
Keadilan dalam hukum dan sosial tidak boleh dikompromikan dengan perasaan pribadi atau tekanan luar. Ayat ini juga mengingatkan bahwa Allah adalah Hakim tertinggi, dan segala upaya menipu atau menyembunyikan kebenaran pasti akan terpantau-Nya.
Dengan demikian surat An-Nisa ayat 135 melarang keras menjadi pembela atau saksi atas kebohongan atau kepalsuan. Islam mengajarkan bahwa keadilan harus ditegakkan walau berat. Dalam konteks sosial dan hukum modern, ayat ini mengilhami integritas dalam profesi hukum, jurnalisme, politik, dan kehidupan sehari-hari. Wallahu a’ lam bisawwabe.
-
Update Info Covid 19 Nasional dan Internasional Disini:
-
Tag :
-
Komentar :
-
Share :