• Dilema Sebuah Terminologi

  • New Masyarakat.net
  • Dilema Sebuah Terminologi

    Imam Shamsi Ali (foto: Int)

    Shamsi Ali Al-Newyorki* 

    Sebuah kata atau terminologi tidak jarang menimbulkan nuansa dan arti yang berbeda-beda. Tentu pemaknaan sebuah kata atau terminologi itu akan banyak ditentukan oleh konteks penggunaannya. Dan yang terpenting tentunya adalah tendensi niat dari pengguna kata atau terminologi tersebut. 

    Ambillah satu contoh yang lagi popular dan masih ramai diperdebatkan oleh banyak kalangan di Amerika. Penggunaan kata “great” dalam phrase “making America great again” atau kata “first” dalam phrase “America First” bisa dimaknai berbeda-beda oleh banyak orang. Sebagian memaknai kedua kata itu (great dan first) secara positif. Dalam arti mereka  sungguh ingin melihat Amerika hebat, maju dan kuat. Karenanya harus ada upaya prioritas bagi Amerika (America first) di atas yang lain. 

    Akan tetapi tidak sedikit pula orang memahaminya secara negatif dan untuk tujuan yang negatif pula. Ketika phrase  “Maka America great again” disampaikan oleh seseorang yang memang memiliki tendensi rasisme maka phrase itu bisa bermakna rasis. Menjadikan Amerika hebat lagi bagi sebagai White Supremacist atau White Nationalist dimaknai sebagai menjadikan Amerika (dominan) putih lagi. Demikian pula phrase “America first” bagi mereka dimaknai sebagai prilaku diskriminatif terhadap penduduk non-White di Amerika.

    Jika hal ini kita tarik ke dalam rana agama maka beberapa terminologi, walaupun itu diyakini sebagai hal positif, boleh saja berbalik dipahami secara negatif sekaligus melahirkan prilaku negatif. Ambillah contoh dari dua Komunitas yang nampak saling berseberangan karena isu Palestina-Israel; Yahudi dan Muslim. Komunitas Yahudi memilki konsep “umat terpilih” (the chosen people). Sementara umat Islam juga meyakini konsep “umat terbaik” atau “khaer ummah” dalam bahasa Al-Quran. 

    Kedua terminologi itu “umat terpilih” Yahudi dan “umat terbaik” Muslim walaupun masing-masing diyakini sebagai hal yang positif, namun juga dapat dipahami secara negatif, baik oleh pemeluk masing-masing agama maupun orang lain. Secara positif kata “terpilih (chosen) dan terbaik” (khaer) dipahami sebagai “tanggung jawab representasi moral monoteis/tauhid dan kewajiban menyampaikan kepada orang lain (Iman dan Dakwah). Jadi lebih kepada amanah dan tanggung jawab, dan bukan superioritas. 

    Akan tetapi tidak sedikit pula yang memahaminya secara negatif dan salah. Konsep terpilih di kalangan Komunitas Yahudi dan konsep terbaik di kalangan Komunitas Islam secara negatif dipahami oleh sebagian sebagai “superioritas” yang melahirkan keangkuhan kepada orang lain atas nama agama. Sebuah prilaku paradoks karena agama seharusnya mengajarkan “rendah hati” dan kesetaraan manusia.

    Bahaya politisasi terminologi 

    Yang lebih runyam lagi adalah ketika sebuah kata atau terminologi dipahami secara politis, baik itu disengaja atau karena di bawah alam sadar. Memahami sebuah terminologi agama yang seharusnya mulia dan baik jika dipahami dengan pandangan politis akan berubah menjadi buruk dan berbahaya. Pada akhirnya sebuah terminologi itu dijadikan pembenaran untuk memburukkan keseluruhan ajaran agama yang mulia.


  • Baca Juga :

  • Dalam agama Islam ada satu terminologi, yang sesungguhnya merupakan konsep kehidupan yang sangat positif dan mulia; Konsep Jihad. Sebuah konsep yang dimaknai sebagai “usaha keras atau perjuangan” dalam Islam. Jihad bagi pemeluk agama ini diyakini sebagai konsep yang positif dan mulia. Konsep yang mengajarkan untuk bekerja keras dan berjuang dengan penuh kesungguhan untuk menghadirkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup, baik pada tataran pribadi dan kolektif. 

    Akan tetapi konsep ini seringkali dipahami diputar balik (twisted) menjadi konsep negatif dan berbahaya. Kata “jihad” oleh sebagian, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, ditampilkan sebagai konsep yang destruktif (merusak). Sehingga jihad dipahami sebagai kekerasan, pembunuhan, dan pengrusakan. 

    Dalam konteks realita di atas inilah menyadarkan saya tentang sebuah terminologi yang sangat sensitif (highly sensitive), bahkan dianggap  ancaman bagi sebagian, khususnya Komunitas Yahudi. Kata atau terminologi itu adalah “intifada” yang pernah menjadi populer dan terlahir dari semangat perjuangan bangsa Palestina untuk mendapatkan keadilan dan hak dasarnya sebagai manusia (human right) untuk merdeka. 

    Hanya saja, dalam perjalanannya kata atau terminologi ini menjadi negatif dan bahkan ditakuti karena diidentikkan dengan kekerasan, pembunuhan dan pengrusakan. Padahal kata ini bagi bangsa yang memperjuangkan hak dasarnya sebagai manusia adalah ekspresi “semangat” untuk mendapatkan hak keadilan dan kebebasan mereka. Jika dalam prosesnya terjadi hal yang tidak diinginkan, pembunuhan misalnya, maka itu adalah konsekwensi dari perjuangan yang esensinya mulia. Tidakkah kita tersadarkan oleh pengakuan “membela diri” (self defense) yang justeru berujung pada genosida? 

    Anehnya seringkali kata ini oleh sebagian dipaksakan untuk dikutuk. Padahal bagi pejuang dengan semangat itu kata atau terminologi tersebut adalah positif. Namun bagi mereka yang berada di posisi sebaliknya “merampas kemerdekaan” orang lain pastinya akan dilihat jahat dan berbahaya. Mungkin setiap kita hanya perlu belajar merasakan perasaan orang lain, walaupun itu terkadang pahit. Belajarlah mengurangi ego! 

    Jamaica Hills, 22 Juli 2025 

    *A Proud New Yorker





  • Update Info Covid 19 Nasional dan Internasional Disini:

  • Tag :

  • Komentar :

  • Share :



Baca Lainnya




Sikap Islam Menghadapi Ketidakjujuran dalam Bernegara

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0

Zohran\'s Victory, Democratic Party Leaders, and AIPAC

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0

Setiap Manusia Pasti Diuji Sesuai Kemampuannya

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0

Mengapa Dakwah Dr Zakir Naik Ditolak?

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0

Harapan Itu Semakin Nampak!

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0



Happy 4th of July!

favorite_border 0
chat_bubble_outline 0