-
Antara "Tamparan Sunyi" Adnan dan Validitas Media Sosial
-
New Masyarakat.net
-
H. J Faisal (aras)
H. J. FAISAL*
Kepercayaan Terhadap Pendidikan Itu Masih Ada
Kisah Adnan Prasetyo benar-benar menyentuh hati. Bocah 15 tahun asal Brebes Jawa Tengah ini nekat mengayuh sepeda sejauh 200 kilometer demi bertemu Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan harapan mendapatkan bantuan untuk melanjutkan sekolah.
Sayangnya, ia belum sempat bertemu dengan Dedi Mulyadi, tetapi perjalanannya yang penuh tekad menarik perhatian banyak orang, termasuk Bupati Brebes, Paramitha Widya Kusuma, yang akhirnya turun tangan membantu.
Adnan kini menjadi anak asuh Bupati Brebes, yang berjanji menanggung biaya sekolah dan kehidupannya. Ia akan tinggal di Pondok Pesantren Assalafiyah Saditan dan melanjutkan pendidikan di SMP di Brebes.
Ini adalah akhir yang cukup membahagiakan bagi perjuangan Adnan, meskipun ia belum bertemu dengan sosok yang ingin dia temui.
Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya akses pendidikan bagi anak-anak, terutama mereka yang berada dalam kondisi sulit. Semangat dan tekad Adnan patut diapresiasi, dan semoga ia mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depannya.
Bagi saya pribadi, kisah Adnan ini mencerminkan sebuah kenyataan, ternyata betapa pendidikan masih sangat dirindukan dan dibutuhkan oleh anak-anak di negara yang sudah 'sempoyongan' ini, negara yang sudah seperti jalannya orang yang sedang mabuk, dengan segala permasalahan ekonomi, hukum, politik, dan adab perilaku, baik dari kalangan elite pemerintahan,maupun dari kalangan rakyat jelata itu sendiri.
Hal ini menunjukkan betapa rupanya pendidikan masih menjadi harapan besar bagi banyak anak di Indonesia, terutama mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sulit. Keinginannya untuk belajar begitu kuat, sampai ia rela menempuh perjalanan yang melelahkan demi bertemu seseorang yang ia percaya bisa membantunya. Ini bukan hanya soal satu anak, tetapi gambaran dari banyak anak lain yang juga merindukan kesempatan yang lebih baik.
Ya, negara yang "sempoyongan" ini sejatinya, memang sedang menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam sektor pendidikan.
Akses pendidikan yang tidak merata, kualitas pengajaran yang seadanya, serta sulitnya mencari dukungan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak, memang masih menjadi pekerjaan besar.
Adnan dan kisahnya adalah pengingat bahwa mimpi untuk sekolah bukanlah hal yang seharusnya sulit digapai, karena memang setiap anak di negara ini memang seharusnya berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Pemimpin Karbitan Dan Validitas Media Sosial
Adnan berangkat dari Brebes ke Subang dengan mengayuh sepeda demi harapan bertemu Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Namun sebelum pertemuan itu terjadi, Bupati Brebes, Paramitha Widya Kusuma, langsung turun tangan dan menjemput Adnan di Subang pada Selasa dini hari, 10 Juni 2025.
Beliau tidak hanya menjemput, tetapi juga menyatakan akan menanggung seluruh biaya pendidikan dan kebutuhan hidup Adnan. Saat penjemputan, Bupati Paramitha didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Brebes.
Sebuah respons yang cepat di tengah sistem yang sering kali lambat, setidaknya kali ini ada satu tangan yang bergerak cepat. Semoga ini bukan sekadar respons insidental, tapi awal dari perhatian yang lebih serius terhadap anak-anak seperti Adnan.
Tetapi entahlah, di jaman seperti ini, ketika era post-truth telah berkuasa, di mana emosi lebih berpengaruh ketimbang fakta, dan intersubjektivitas mengaburkan batas antara empati dan eksibisi, sangat sulit sekali membedakan mana aksi yang murni, mana yang sekadar panggung untuk mendapat validasi publik melalui media sosial.
Ketika kebaikan dikemas untuk konsumsi media sosial, nilai-nilai luhur pun berisiko direduksi menjadi sekadar konten viral. Bahkan tindakan yang sejatinya mulia, seperti menolong Adnan, jadi sulit dinilai secara utuh—karena kita hidup di zaman di mana publikasi kadang dianggap lebih penting daripada proses sunyi di baliknya.
Namun, walau segala niat mudah dicurigai, harapan tidak boleh mati.
Bukan karena kita harus naif, melainkan karena kita tidak ingin ikut larut dalam sinisme total yang tumbuh subur karena ketidakpahaman tentang fungsi teknologi itu sendiri.
Bisa jadi memang ada pamrih di balik setiap sorotan kamera, tetapi bisa juga, di sela sorotan itu, ada sekelumit ketulusan yang tetap bertahan, meski terdesak oleh algoritma.
Mungkin bukan ketulusan yang harus kita cari, melainkan kesinambungan tindakan. Kalau memang benar niatnya baik, waktu dan konsistensi akan membuktikan segalanya.
Bagi saya pribadi, saya tidak mempermasalahkan masalah yang masih ambigu seperti itu, sebab saya hanya merasa bahwa apa yang dilakukan Adnan sebenarnya adalah sebuah 'tamparan sunyi' bagi mereka penyelenggara negara yang sebenarnya belum mampu untuk mengurus rakyatnya, terutama dalam masalah pendidikan,namun karena mereka para pemimpin yang berkuasa itu mempunyai materi lebih, maka akhirnya mereka mampu 'membeli' suara rakyat yang lemah seperti Adnan , tetapi pada dasarnya tidak mampu memahami permasalahan rakyat sebagai pemberi suara untuk para pemimpin karbitan tersebut.
Menurut saya, apa yang dilakukan Adnan, dengan segala kesederhanaan dan kepolosannya, sesungguhnya adalah sebuah "tamparan sunyi" yang lebih lantang daripada orasi di podium kekuasaan.
Ketika seorang anak memilih menempuh ratusan kilometer demi memperjuangkan pendidikan, itu bukan sekadar kisah inspiratif, tapi juga sebuah refleksi kegagalan sistemik.
Para pemimpin karbitan tersebut, sering kali lihai dalam mendekati rakyat saat musim pemilu, namun gagap ketika harus memahami dan merawat harapan-harapan rakyat setelahnya.
Mereka pandai membungkus janji dengan retorika, tetapi miskin dalam mendengar denyut kebutuhan nyata, seperti akses pendidikan, layanan dasar, dan keadilan sosial. Maka benar adanya, bahwa suara rakyat bukan untuk dibeli, tetapi untuk dipahami dan diperjuangkan.
-
Baca Juga :
-
“Pemimpin karbitan,” seperti yang saya sering sebut dalam tulisan-tuilisan saya, sesungguhnya adalah mereka yang naik bukan karena integritas, tetapi karena kepentingan.
Dan Adnan, secara tanpa sadar mungkin telah memanggil nurani banyak orang untuk kembali bertanya: “Untuk siapa sesungguhnya kekuasaan itu dipakai?”
Jika saja narasi harapan dalam bentuk kejujuran kita, dan jika saja lebih banyak orang mampu bersuara secara jujur dan berani, barangkali ‘suara sunyi’ seperti milik Adnan tak akan lagi dipikul sendirian.
Dan menurut saya, masalah Adnan ini lebih menarik daripada perihal tentang pembarakan peserta didik yang dianggap bermasalah karakternya, yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, karena apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi merupakan hak beliau untuk menentukan kebijakan pendidikan di wilayah yang dipimpinnya, terlepas dari paham atau tidaknya beliau tentang pedagogi dan sistem pendidikan yang ada.
Sesungguhnya, kisah Adnan memiliki resonansi yang lebih kuat, karena dia adalah cerminan dari realitas pendidikan di Indonesia, kisah seorang anak yang mewakili seluruh anak-anak marginal di negara bi-adab ini, yang berjuang tanpa fasilitas dan perhatian yang seharusnya diberikan oleh sistem.
Sementara tindakan Dedi Mulyadi dalam kebijakan pendidikan adalah bagian dari kewenangannya sebagai pemimpin daerah, karena itulah mengapa cerita Adnan lebih menggugah, karena berasal dari inisiatif personal, bukan kekuasaan.
Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi mungkin berada dalam batas kewenangannya, tetapi apakah kebijakan tersebut benar-benar membawa dampak substansial bagi dunia pendidikan, itu pertanyaan lain.
Paham atau tidaknya seorang pemimpin tentang pedagogi menjadi krusial, karena kebijakan pendidikan bukan hanya soal administrasi, tetapi juga tentang pemahaman mendalam terhadap perkembangan intelektual dan moral generasi penerus.
Adnan, di sisi lain, adalah contoh nyata bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi hak, justru harus diperjuangkan dengan cara yang ekstrem. Kisahnya tidak hanya menyentuh emosi, tetapi juga menjadi cermin bagi kebijakan pendidikan yang masih belum mampu menjangkau anak-anak yang membutuhkan.
Seharusnya kisah seperti Adnan ini bisa menjadi titik refleksi bagi perubahan kebijakan, bagaimana seharusnya cerita ini diperlakukan agar benar-benar membawa dampak nyata, dan tidak hanya berhenti sebagai fenomena di media sosial semata.
Kisah Adnan dan Uwais Al Qarni
Dari kisah Adnan ini, saya jadi ingat kisah pemuda dari negeri Yaman yang ingin bertemu Rasulullah, yaitu Uwais al Qarni....
Ya, kisah Uwais Al Qarni memang memiliki kemiripan dengan perjalanan Adnan, terutama dalam hal pengorbanan dan perjuangan pribadi demi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Uwais Al Qarni adalah seorang pemuda dari daerah Qarn Yaman, yang sangat berbakti kepada ibunya. Ia ingin sekali bertemu Rasulullah SAW, tetapi karena ibunya yang sudah tua dan lumpuh, ia memilih untuk tetap merawatnya.
Suatu hari, di tahun 37 Hijriah (657 Masehi), ibunya meminta agar ia membawanya berhaji, dan Uwais pun menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah—sebuah perjalanan yang luar biasa berat.
Kesamaan dengan Adnan terletak pada keteguhan hati dan pengorbanan.
Adnan mengayuh sepeda ratusan kilometer demi memperjuangkan pendidikan, karena keadaan dirinya sebagai yatim piatu yang tidak mampu, sementara Uwais berjalan jauh demi memenuhi keinginan ibunya.
Keduanya adalah simbol perjuangan tanpa pamrih, yang dilakukan bukan karena kepentingan pribadi, tetapi karena kesadaran akan sesuatu yang lebih besar—baik itu bakti kepada orang tua maupun harapan akan pendidikan yang lebih baik.
Namun, ada satu perbedaan, Uwais tidak pernah bertemu Rasulullah, meskipun ia hidup di zamannya. Rasulullah bahkan pernah berpesan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib untuk mencari Uwais dan meminta doa darinya, karena ia adalah sosok yang sangat dicintai Allah.
Adnan, di sisi lain, berhasil bertemu dengan pemimpin daerahnya ya. Tetapi apakah pertemuan itu benar-benar membawa perubahan bagi sistem pendidikan, atau hanya menjadi momen simbolis, itu yang masih menjadi pertanyaan.
Semoga kamu benar-benar menerima apa yang seharusnya memang menjadi hakmu, dan hak seluruh anak-anak Indonesia yang bernasib sama sepertimu.
Selamat berjuang, Adnan….
‘Tamparan sunyimu’ sungguh-sungguh telah membuka hati nurani anak bangsa yang masih sehat, kecuali hati nurani mereka yang sakit dan telah mati.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 12 Juni 2025
*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
-
Update Info Covid 19 Nasional dan Internasional Disini:
-
Tag :
-
Komentar :
-
Share :