-
Tahun Baru Hijrah dan Kebangkitan Komunal*
-
New Masyarakat.net
-
Imam Shamsi Ali(Int)
Imam Shamsi Ali
Umat Islam sejagad kembali memperingati tahun baru kalender Islam (Hijriyah), dari tahun 1446 ke tahun 1447 H. Pergantian tahun sesungguhnya normal dan biasa saja. Karena pergerakan alam semesta terjadi secara alami membawa kepada perubahan. Karenanya perubahan adalah fenomena alam semesta yang tak terhindarkan.
Yang sangat menarik adalah bahwa penanggalan Islam itu dimulai dengan sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjalanan Islam yang disebut Hijrah. Hijrah adalah peristiwa perpindahan Rasulullah SAW dari tanah kelahirannya, Makkah al-Mikarromah, ke tanah di mana kelak beliau kembali kepada Rabbnya, Madinah al-Munawwarah. Keputusan memulai kalender Islam dengan Hijrah bukan tanpa makna. Bahkan sesungguhnya memiliki makna mendasar dalam kerangka perjuangan dakwah Rasulullah SAW.
Kita pastinya ingat bahwa kebangkitan Dakwah Islam memiliki beberapa tingkatan. Dari kelahiran (Milad), kenabian (nubuwah), di perjalankannya beliau di malam hari (Isra’ Mi’raj), Hijrah (perpindahan) hingga ke Fathu (penaklukan) Mekah oleh Rasulullah SAW. Pada semua fase itu ada makna dan urgensi tersendiri yang Allah hadirkan dalam proses Kebangkitan Dakwah Rasulullah SAW.
Penanggalan Islam dan identitas Keumatan
Jika Isra’ dan Mi’raj menjadi tangga Kebangkitan individual melalui Sholat dan penguatan ruhiyah (spiritualitas) maka Hijrah menjadi pintu bagi Kebangkitan komunal Umat. Hijrah hadir sebagai pembuka bagi kebangkitan dan kemenangan besar (Fathu Makkah) setelah melalui berbagai dinamika dan ujiannya (peperangan-peperangan membela diri).
Hijrah sebagai pintu Kebangkitan kolektif, sekaligus menjadi awal penanggalan Islam, mengajarkan bahwa kebangkitan kolektif itu mengharuskan independensi, termasuk di dalamnya independensi identitas. Dengan penanggalan Hijriyah diharapkan agar umat ini memilki identitas kolektifnya sendiri. Umat ini tidak dibolehkan hanyut dan terwarnai oleh identitàs-identitas orang lain.
Berbicara tentang identitas ini tentu bukan hanya pada tertentu saja. Aspek ritual misalnya. Tapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Bahwa umat ini harus memiliki identitasnya secara agama dengan akidah yang jelas, tapi juga secara politik, ekonomi dan sosial. Umat tidak dibenarkan tercelupi atau terwarnai oleh warna-warni identitas lain yang tidak sejalan dengan prinsip dasar keyakinannya. Ambillah satu contoh, identitas ekonomi Islam bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme. Tapi mengambil porsi keduanya secara imbang.
Hijrah dan Kebangkitan Komunal
Sebagaimana disebutkan di atas, Hijrah dimaknai sebagai pintu Kebangkitan kolektif keumatan (Komunal). Dengan kebangkitan dan kekuatan kolektif inilah umat akan mampu independen dengan warna (celupan) atau identitas kehidupan. Jika umat lemah terbelakang maka yang terjadi adalah “karakter mengekor” pada umat-umat lain. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah pepatah: “yang terkalahkan cenderung mengikut kepada yang menang”.
Untuk umat ini bangkit secara Komunal, saya kembali menyampaikan tujuh hal penting yang menjadi dasar atau pilar kebangkitan. Ketujuh pilar ini saya saring dari dua tempat yang berbeda dalam Al-Quran. Dari Surah Al-Imran ayat 102 hingga 110 dan Surah As-Shoff dari awal hingga akhir.
Di kedua tempat dalam Al-Quran ini disimpulkan tujuh poin penting sebagai pilar kebangkitan Komunal Umat sebagai berikut;
Pentingnya fondasi ruhiyah. Pada Surah Al-Imran diekspresikan dengan kata “ittaqullah haqqa tuqaatih” dan pada Surah As-Shoff dengan kata “sabbaha lillahi”. Keduanya bermakna urgensi koneksi samawi atau relasi hati dengan Allah SWT.
Pentingnya introspeksi diri. Di surah As-Shoff Allah menyampaikan “self criticism”: “lima taquuluna maa laa taf’alun” sebagai peringatan untuk selalu muhasabah, mengenal kekurangan dan memperbakinya.
Pentingnya persatuan dalam keragaman. Surah Al-Imran menyebutnya “wa’tashimuu bihablillah jami’an”. Surah As-Shoff menyebutnya “Shoffan ka annahum bun-yaan”. Tanpa persatuan dan kebersamaan mustahil umat ini bangkit.
Pentingnya kesadaran sosial. Dalam bahasa agama kesadaran sosial ini disebut “amar ma’ruh nahi mungkar”. Bahwa umat ini bagaikan satu tubuh yang saling terkait. Kesenangan individu berkaitan dengan kesenangan kolektif. Sebaliknya penderitaan individu adalah penderitaan semuanya.
Pentingnya memenangkan pertarungan persepsi. Untuk memenangkan pertarungan ini diperlukan penguasaan media. Di surah Al-Imran disebutkan dengan “afwaah” (mulut-mulut). Media adalah kekuatan dalam membentuk persepsi dunia.
Pentingnya membangun wawasan kehidupan yang berorientasi ukhrawi. Surah Al-Imran mengekspresikan dengan “yauma tabyahddhu wujuuhuhum wa taswaddu wujuuhuhum”. Bekerja di dunia. Tapi bukan sekedar berorientasi duniawi yang sempit.
Pentingnya mengambil bagian dalam perjuangan. Surah As-Shoff mengekspresikan dengan “wa tujaahiduuna fi sabilillah” hingga ke firmanNya: “nahnu anshorullah”. Jangan biarkan saudaramu sendirian dalam perjuangan.
-
Baca Juga :
-
Esensi Hijrah adalah Perubahan
Namun demikian satu hal yang penting dipahami dari peristiwa Hijrah ini adalah esensi dan semangat Hijrah itu sendiri. Bahwa Hijrah bukan sekedar perpindahan tempat atau ruang (space). Tapi esensi dan semangat Hijrah adalah “Perubahan”.
Perubahan adalah karakter alamiah dari kehidupan. Segala sesuatu di alam semesta (al-alamin) mengalami perubahan dengan cara dan tabiatnya masing-masing. Langit dan bumi perputar tiada henti. Siang dan malam silih berganti. Dan semua itu menjadi tanda-tanda kebesaran sang Pencipta. Manusia yang menjadi bagian dari alam pasti mengalami perubahan, baik secara alami atau dipaksa oleh situasi dan keadaan.
Untuk Umat Islam dapat “survive”, tumbuh (develop), maju (progress) dan kuat (powerful), perubahan menjadi tuntutan yang mendasar. Allah sendiri menegaskan: “sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu merubah diri mereka sendiri”.
Ada tiga perubahan mendasar yang harus terjadi jika umat ini mau maju dan kuat.
Satu, perubahan cara pandang (mindset). Warna dan bentuk hidup seseorang ditentukan oleh cara pandangnya. Termasuk dalam beragama. Cara pandang terhadap agama membentuk karakter keagamaan. Jika agama dipandang sebagai tumpukan ritual semata, karakter beragama juga tidak lebih dari rutinitas ritual. Tapi jika agama dipandang sebagai petunjuk hidup maka agama akan menjadi fondasi perjalanan hidupnya.
Dua, perubahan karakter, baik pada tataran pribadi maupun kolektif. Dari karakter malas, lemah, merasa kalah dan berputus asah menjadi karakter yang aktif, kuat, optimis dan berorientasi kemenangan. Dalam konsep iman, tiada kekalahan selama Allah membersamai.
Tiga, perubahan lingkungan. Sekuat apapun umat ini, jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung maka pada akhirnya akan “luntur” (melted) juga. Karenanya umat ini tidak boleh berada pada posisi obyek perubahan. Tapi berada pada posisi pelaku perubahan. Umat harus memposisikan diri sebagai agen perubahan.
Akhirnya, dari gedung PBB New York saya haturkan “Selamat memasuki tahun baru 1447 H”. Semoga tahun ini membawa keberkahan dan kebaikan lebih dari tahun sebelumnya. InsyaAllah!
Manhattan City. 27 Juni 2025
*(Intisari khutbah di UN New York siang ini).
-
Update Info Covid 19 Nasional dan Internasional Disini:
-
Tag :
-
Komentar :
-
Share :