-
Menimbang Haji: Amtara Amalan Ritual dan Pengabdian Sosial
-
New Masyarakat.net
-
Imam Shamsi Ali (Int)
Imam Shamsi Ali*
Hari-hari ini jutaan manusia sedang atau akan melakukan perjalanan menuju tanah haram untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Dari sekitar 2 juta manusia itu banyak di antaranya yang melakukannya untuk kesekian kalinya. Padahal kewajiban itu (berhaji) hanya sekali dalam seumur hidup manusia. Ratusan Rupiah, bahkan tidak jarang menjual kepemilikan yang mendasar bagi keberlangsungan hidupnya dan keluarganya dibelanjakan. Akibatnya mereka terjatuh miskin bahkan menjadi beban dalam bermasyarakat.
Di sisi lain betapa masih masifnya dari kalangan umat ini yang merintih dalam kemiskinan. Mereka tidak memilki apa-apa untuk mensuport kehidupan keluarganya. Betapa menyedihkan sebagian mereka terpaksa menjual kehormatan demi keberlangsungan hidup dan keluarganya.
Keadaan di atas melahirkan sebuah pertanyaan. Apakah tengah maraknya kemiskinan dan kefakiran di tengah masyarakat kita, seseorang itu dianggap wajar berangkat haji berkali-kali? Atau apakah tidak lebih baik jika biaya haji yang cukup besar itu dipergunakan untuk membantu mereka yang mstadh’afin dan termarjinalkan secara ekonomi?
Haji mabrur seorang tukang semir sepatu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas ada sebuah cerita tentang seorang tukang semir sepatu. Kisah ini diceritakan oleh seorang ulama, Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, ulama terkenal di Makkah.
Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit dan mendengar percakapan mereka. “Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“Lebih tujuh ratus ribu,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak di antara mereka yang ibadah hajinya diterima?”, tanyanya lagi.
“Tidak satupun”, jawabnya singkat.
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar, bahkan ia menangis dalam mimpinya.
“Semua orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, namun semua usaha mereka menjadi sia-sia?”, di benak sang Ulama.
Sambil gemetar, ulama kharismatik itu melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.
“Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat orang itulah haji mereka yang datang ke tanah suci ini diterima oleh Allah”, lanjut malaikat itu.
“Kok bisa”, tanya malaikat yang satu.
“Itu Kehendak Allah”, jawabnya.
“Siapa orang tersebut?”, tanyanya lagi.
“Dia adalah Sa’id bin Muhafah, tukang semir sepatu di kota Damaskus”, jawabnya.
Mendengar ucapan itu, sang ulama itu langsung terbangun tadi tidurnya. Pikirannya masih digeluti oleh mimpi yang dirasakannya sabagai beban itu. Dia merasa terbebani dan merasa bersalah karena hajinya diterima karena seorang yang justeru tidak menunaikan haji.
Setelah selesai menunaikan seluruh rangkaian amalan hajinya, dia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumahnya. Sang Ulama itu justeru langsung berangkat menuju kota Damaskus, Suriah untuk menemui tukang semir sepatu itu.
Sesampai di Damaskus ia langsung mencarinya. Beliau menghampiri semua tukang semir sepatu di kota itu dan ditanyai, apa memang ada tukang semir sepatu yang bernama Sa’id bin Muhafah?
“Ada, di tepi kota”, jawab salah seorang tukang semir sepatu sambil menunjuk ke arahnya. Sesampai disana sang ulama itu menemukan tukang semir sepatu itu berpakaian lusuh.
“Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?”, tanyanya.
“Betul. Siapa tuan?”, tanya tukang semir sepatu kembali.
“Saya Abdullah bin Mubarak”, jawabnya.
Sang tukang semir sepatu itupun terharu. "Tuan adalah seorang ulama terkenal. Ada apa gerangan mendatangi saya?”, tanyanya.
Sejenak Ulama itu kebingungan, dari mana ia akan memulai pertanyaanya. Akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya itu.
“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda telah perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”, tanyanya.
“Tidak tuan. Saya sendiri tidak tahu”, jawabnya.
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini”, tanya Ulama itu.
Sa’id bin Muhafah pun bercerita bahwa setiap tahun, setiap musim haji, beliau selalu mendengar seruan: “Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika la syarika laka labbaika, Innal hamda Wanni’mata laka wal mulka, Laa syarika laka”.
-
Baca Juga :
-
Beliau menceritakan: “Setiap kali saya mendengar seruan itu, saya selalu menangis: ya Allah aku rindu Mekkah. Ya Allah aku rindu melihat kabah. Ijinkan hambaMu datang. Ijinkan hambaMu datang ya Allah”.
Dan sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang semir sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya berhasil mengumpulkan 350 dirham. Jumlah yang cukup untuk saya berangkat menunaikan haji.
“Dan saya sudah sangat siap berhaji”, lanjutnya.
“Tapi anda batal berangkat haji kan?, tanya Ulama itu lagi.
“Iya benar, saya batal berangkat” jawabnya.
“Kenapa batal berangkat?”, tanya Ulama itu lagi.
“Istri saya sedang hamil. Waktu saya hendak berangkat dia sedang ngidam berat”
Isteriku tiba-tiba menyampaikan padaku: “suamiku, engkau mencium bau masakan yang nikmat itu?
“Iya sayang”, jawabku.
“Cobalah engkau cari siapa yang sedang memasak dan baunya begitu lezat. Mintalah sedikit untukku”, pinta isteriku
Sayapun mencari sumber bau semerbak masakan itu. Ternyata berasal dari gubug tetangga yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya.
Saya menemui janda itu dan membweitahu jika istri saya mencium bau masakan anda dan ingin meminta meskipun sedikit saja. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.
Akhirnya dengan perlahan janda itu berkata, “Tidak boleh tuan”.
“Berapapun saya bayar untuk isteri saya yang sedang ngidam”, kataku.
“Makanan itu tidak dijual”,kata sang janda sambil berlinang mata.
Akhirnya saya tanya: kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan”, katanya.
Dalam hati saya, "Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama Muslim? Karena itu saya mendesaknya lagi, “Kenapa?”
Janda itu kemudian menjelaskan: “Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah tidak ada makanan. Hari ini kami menemukan bangkai seekor keledai, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak"
“Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram", lanjutnya.
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang.
Saya ceritakan kejadian itu pada istri saya. Diapun menangis. Kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.
Bahkan uang yang telah saya kumpulkan sebesar 350 dirham untuk berangkat haji pun saya berikan kepadanya.
Seraya menyerahkan uang itu saya berkata dalam hati: Ya Allah, di sinilah hajiku. Ya Allah, disinilah Mekahku!, sang tukang semir sepatu mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita tersebut sang Ulama Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata. Dia menangis dan memeluk si tukang semir sepatu itu sambil berkata: “Selamat, anda telah menunaikan ibadah haji dan diterima sebagai haji mabrur”.
Diapun membacakan Hadits Rasulullah SAW: “haji mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga”.
Pelajaran penting dari kisah ini adalah bahwa haji mabrur bukan pada pelaksanaan ritual semata. Tapi yang terpenting adalah substansi kebaikan yang ada pada haji itu sendiri. Baik yang bersifat ritual-vertikal maupun sosial-horizontal.
Apalah arti menunaikan haji berkali-kali tapi tidak peduli dengan penderitaan sesama di sekitar kita. Terlebih lagi jika Haji itu dijadikan alat prestise sosial semata. Semoga tidak!
Batam-Surabaya, 24 Mei 2025
*Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation
-
Update Info Covid 19 Nasional dan Internasional Disini:
-
Tag :
-
Komentar :
-
Share :